Hakikat Rizki

Rizki atau rejeki bukanlah kata yang asing yang terasa janggal di telinga kita. Kata ini sering disebut-sebut dalam sebuah perbincangan atau saat orang bicara tentang kebutuhan hidup. Rizki bukan hanya berarti bagi kelangsungan hidup umat manusia, tapi juga sangat penting bagi kelangsungan makhluk hidup lainnya. Itulah sebabnya mengapa kata ini disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 112 kali dalam 41 surat. Dan inilah simbol kepedulian Allah SWT tentang pentingnya rizki.

Wujud kepedulian itu tidak hanya sebatas menyinggung, bahkan secara gamblang dalam Al-Qur'an Allah SWT menyerukan manusia untuk bekerja dan berusaha : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S Al-Jumu’ah : 10)

Dapat disimpulkan bahwa ada satu pesan mendasar yang terkandung dalam konsep rizki, yakni syariat untuk bekerja. Rizki tidak mungkin didapat tanpa sebuah usaha atau kerja. Itulah sebabnya mengapa Allah menyediakan bumi ini sebagai ladang kerja untuk menghasilkan rizki.

Sayangnya, oleh sebagian orang, syariat ini telah diselewengkan. Usaha atau kerja tidak lagi ditafsirkan sebagai semata-mata usaha yang hasil akhirnya diserahkan kepada Allah. Tapi usaha dan kerja telah diartikan sebagai sesuatu yang harus menghasilkan. Buntutnya, ketika usaha dan kerja tidak menghasilkan rizki, perasaan galau, kecewa dan frustasi menjadi bagian yang tak terhindarkan.

Mencari yang haram aja susah-apalagi yang halal” sebagian orang mengatakan demikian. Kadang mereka katakan sebagai dalih mereka untuk melegalkan usaha mereka dari sumber penghasilan yang haram atau subhat.

Bahkan, ada kalanya manusia nekad melakukan tindakan bunuh diri hanya karena tidak bisa mengantisipasi perasaan kecewa atau jenuh menjalani hidup, tanpa usaha atau pekerjaan yang jelas. Untuk itu, dalam konteks mendapatkan rizki, kerja harus dipahami sebagai sebuah wasilah atau media. Usaha itulah yang akan membawa manusia kepada rizki yang telah digariskan Tuhan untuknya. Namun, usaha dan kerja sama sekali bukanlah suatu jaminan bahwa rizki yang telah ditetapkan Allah akan diperoleh.

Yang lebih mendasar lagi, sudah sepatutnya manusia berpikir tentang asal-muasal rizki. Dari mana ia datang, siapa yang memberikannya, dan dengan cara apa ia mendapatkannya ? Jika manusia menyadari akan hal ini, maka akan timbul satu kesadaran bahwa bila tidak karena kemurahan Yang Maha Pemberi, mungkin kata-kata tentang rizki tidak akan pernah ada.

Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman, “Katakanlah : “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yng dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa saja yang dikehendaki-Nya) Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi Rizi yang sebaik-baiknya.” (Q.S Al-Saba : 39)

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah-lah sebaik-baiknya pemberi rizki. Karena itu, hendaknya manusia tidak menyekutukan-Nya dengan mengatakan rizki itu berasal dari sesuatu selain Allah. Juga, jangan ada anggapan bahwa ritual ibadah seperti shalat, akan menyebabkan rizki seseorang berkurang. Demikian pula halnya anggapan bahwa memberikan rizki untuk zakat, menyebabkan rizki kelak akan berkurang.

Setelah disadarkan bahwa sumber rizki itu adalah Allah, maka bagi orang yang beriman, Allah adalah orientasi kegiatan manusia dalam upaya memperoleh penghidupan. Di hadapan Allah, semua makhluk dan semua manusia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan rizki.

Meski semua hamba mendapatkan rizki dari Allah, tapi rizki yang diberikan itu tidak sama dalam ukuran dan takarannya. Allah berhak melebihkan rizki untuk seseorang dan berhak pula menguranginya dari yang lain. Semuanya itu tergantung kepada keadilan Allah dan kerja keras manusia sebagai sunatullah yang telah ditetapkan.

Namun, karena setiap rizki yang diperoleh selalu terjadi dalam ruang lingkup sosial, maka Al-Quran menentukan bahwa dalam setiap kelebihan rizki terdapat hak bagi golongan miskin, lemah dan tertinggal. Hak-hak mereka tersebut dibakukan Allah dalam konsep zakat, sedekah, dan infak.

Sebagai bahan acuan agar tidak tergelincir saat mendapatkan rizki, hendaknya manusia tidak ngoyo dengan menghalalkan segala cara. Mereka harus ingat, setiap makhluk hidup telah mendapatkan rizki masing-masing. Bila kesadaran ini telah tertanam, mereka akan mampu mengontrol sikap dan perilakunya, terutama saat menghasilkan rizki dalam dunia kerja.

Lebih dari itu, mereka pun akan selalu menjaga hak-hak Allah yang dikongkretkan dalam bentuk ritual shalat, zakat, pergi haji dan yang lainnya. Mereka menyadari, dalam setiap rizki yang diberikan terdapat dua pilihan yang mesti diambil, bersukur atau kufur.

Dengan mensyukuri nikmat, secara tidak langsung dan tanpa disadari manusia tengah berada dalam proses mendapatkan rizki yang semakin banyak. Dengan kata lain, semakin banyak manusia bersyukur, maka semakin bertambah pula rizki yang didapat. Hal itu tercermin pada kemudahan-kemudahan dalam mengembangkan usaha, mengeliminir kerugian, dan tambahan berkah pada rizki telah didapatkan.

Ketentuan demikian bukan hanya slogan semata, namun Allah telah memberikan ‘garansi’ yang tertuang jelas dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 7, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu meningkari (nikmat-Ku), maka sesungghunya azab-Ku sangat pedih“.

Namun sebaliknya, bila manusia tidak mampu bersyukur (Kufur Nikmat), maka Allah telah menyiapkan baginya siksaan yang amat pedih. Sanggupkah kita untuk menerimanya ... ???
والله أعلم بالصواب
Sumber : Khasanah Islam
Baca Selengkapnya......